Zakat dan Sedekah, Apa Bedanya?

Jasa Layanan Transportasi Lombok

Zakat dan Sedekah, Apa Bedanya?

Zakat dan Sedekah, Apa Bedanya?

Ulasan Lengkap
Secara peristilahan sedekah dalam Al-Qur’an terkadang bermakna zakat sebagaimana disebutkan dalam Surat At-Taubah ayat 60. Namun demikian, dalam Hukum Islam baik bersifat fiqh maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia dibedakan pada keduanya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 berkenaan Pengelolaan Zakat (“UUPZ”), mendefinsikan zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan bisnis untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.[1]


Belajar Hukum Secara Online berasal dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau
Mulai Dari
Rp 149.000
Sedangkan sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan bisnis di luar zakat untuk kemaslahatan umum.[2]

Dari definisi zakat dan sedekah tersebut, bisa dipahami persamaan pada keduanya adalah ada harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan bisnis untuk diberikan kepada pihak lain.

Menjawab pertanyaan Anda, kami rangkum perbedaan pada zakat dengan sedekah dalam tabel berikut:  https://makanberkah.com/ 

Dari faktor norma hukum, UUPZ menyebut secara sadar dalam keputusan umum bahwa zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha, meskipun tidak diatur sanksi baik administratif maupun pidana bagi yang tidak membayar zakat.

Kemudian UUPZ juga tidak menyebutkan sedekah itu hukumnya sunnah. Namun, bisa kami ketahui berasal dari literatur Hukum Islam, Wahbah Az-Zuhaily misalnya, tunjukkan sedekah tathawwu’ (di luar zakat) itu hukumnya mustahab dan sunnah berdasarkan Al-Qur’an dan hadits Nabi.[3]

Terkait macam-macam zakat, disebutkan zakat meliputi zakat mal (harta) dan zakat fitrah (jiwa),[4] juga disebutkan bahwa sedekah itu bersifat harta dan nonharta.[5] Akan tetapi, UUPZ tidak menyebutkan lebih lanjut apa yang dimaksud sedekah bersifat nonharta. Bisa jadi maksudnya adalah hal-hal lain yang bukan bantuan harta tetapi diperhitungkan sebagai sedekah, seumpama tersenyum kepada saudara (sesama muslim).

Adapun zakat mal meliputi:[6]  

emas, perak, dan logam mulia lainnya;
uang dan surat berharga lainnya;
perniagaan;
pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
peternakan dan perikanan:
pertambangan;
perindustrian;
pendapatan dan jasa; dan
rikaz.
Berbeda dengan zakat yang sudah ditentukan jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, sedekah tidak dibatasi wajib bersumber berasal dari type harta yang mana saja. Meski demikian, sebaiknya sedekah itu disita berasal dari sisa harta sehabis dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan diri dan orang yang wajib dinafkahinya.[7]

Terkait dengan besaran zakat dan sedekah, tidak diatur berapa besaran keduanya. Dari literatur Hukum Islam diketahui keputusan kadar/besaran zakat yang wajib dikeluarkan pada lain: 2.5% untuk harta perniaagaan, emas, dan perak, 1 ekor berasal dari 40 ekor kambing, 1 ekor berasal dari 30 ekor sapi, dan sebagainya.[8] Sedangkan sedekah tidak ada batasan kadar/besarannya. Seberapa besar sedekah yang diberikan senantiasa jadi amalan sunnah.[9]

Terkait sasaran, zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.[10] Pendistribusian zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan perhatikan komitmen pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.[11] Maka, UUPZ cuma sesuaikan prinsip-prinsip pendistribusian zakat dan tidak sesuaikan secara detil berkenaan mustahik (orang yang berhak atas) zakat, bakal tetapi mengembalikan kepada syariat Islam.

Kemudian berdasarkan Surat At-Taubah ayat 60, ada 8 group mustahik zakat, yakni fuqara’ (orang-orang fakir), masakin (orang-orang miskin), al-amilin alaiha (para pengelola zakat), al-mu’allafah qulubuhum (orang-orang yang dilembutkan hatinya), ar-riqab (para budak), al-gharimin (orang-orang yang bangkrut), sabilillah (di jalan Allah), dan ibnis sabil (orang yang ada dalam perjalanan).[12]

Di segi lain, UUPZ sesuaikan pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya di terima oleh Badan Amil Zakat Nasional (“BAZNAS”) atau LAZ (“Lembaga Amil Zakat”) dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan sesuai peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi.[13] Jadi, pemberi sedekah bisa menentukan kepada siapa sedekah itu diberikan. Menurut Hukum Islam, sebaiknya sedekah diberikan dengan rangkaian prirotas: [14]

kerabat dekat dan tetangga sekitar;
orang yang sangat membutuhkan; dan
orang yang kaya, bani Hasyim, nonmuslim, dan orang yang fasik (pendosa).
Terkait jalinan dengan pajak, zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan berasal dari penghasilan kena pajak.[15]  BAZNAS atau LAZ selanjutnya wajib memberi tambahan bukti setoran zakat kepada tiap tiap muzaki yang digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.[16] Ketentuan ini tidak diterapkan untuk sedekah. Jadi, sedekah tidak bisa dihitung sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Demikian jawaban berasal dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 berkenaan Pengelolaan Zakat.

 

Referensi:

Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islamy wa Adiilatuh, Jilid 2, Cetakan Ketiga. Daar Al-Fikr, Damaskus, 1989;
Imam Taqiyyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad Al-Husainy. Kifayah Al-Akhyar fi Halli Ghoyah Al-Ikhtihsar, Juz 1, Daar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyyah, Indonesia.
 
[1] Pasal 1 angka 2 UUPZ

[2] Pasal 1 angka 4 UUPZ

[3]Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islamy wa Adiilatuh, Jilid 2, Cetakan Ketiga. Daar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hal. 915

[4] Pasal 4 ayat (1) UUPZ

[5] Pasal 1 angka 4 UUPZ

[6] Pasal 4 ayat (2) UUPZ

[7] Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islamy wa Adiilatuh, Jilid 2, Cetakan Ketiga. Daar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hal. 918

[8] Imam Taqiyyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad Al-Husainy. Kifayah Al-Akhyar fi Halli Ghoyah Al-Ikhtihsar, Juz 1, Daar Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyyah, Indonesia, hal. 175-180

[9] Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islamy wa Adiilatuh, Jilid 2, Cetakan Ketiga. Daar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hal. 918-919.

[10] Pasal 25 UUPZ

[11] Pasal 26 UUPZ

[12] Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islamy wa Adiilatuh, Jilid 2, Cetakan Ketiga. Daar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hal. 867.

[13]  Pasal 28 ayat (1) dan (2) UUPZ

[14] Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqh Al-Islamy wa Adiilatuh, Jilid 2, Cetakan Ketiga. Daar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hal. 919-920.

[15] Pasal 22 UUPZ

[16] Pasal 23 UUPZ